1 Followers
2 Following
feliscatus

Log Bacaan

Cuplikan dari Blog Cabinet of Curiosities

Currently reading

The House of Mirth
Edith Wharton, Nina Bawden

Tema diskusi untuk klub buku Groningen bulan November adalah buku para penulis dari Indonesia. Kebetulan sekali ada buku Sapardi Djoko Damono yang menunggu dibaca di rumah. Malam Wabah & Pada Suatu Hari Nanti berisi kumpulan cerpen dengan dua inspirasi yang berbeda. Sapardi Djoko Damono menyatakan bahwa inspirasinya untuk Pada Suatu Hari Nanti adalah dongeng/cerita populer di masyarakat yang diadaptasi ulang dan diberi ‘twist’ sedangkan  Malam Wabah terinspirasi dari memberikan suara/membuat benda/tokoh yang tidak umum sebagai narator cerita.

 

Ketika mulai membaca, harapan saya cukup tinggi, karena Sapardi Djoko Damono punya reputasi yang tinggi sebagai penyair. Saya mengharapkan kumpulan cerpen yang enak dibaca dan membuka wawasan serta pengetahun yang dalam tentang kehidupan. Kekecewaan saya langsung muncul setelah membaca cerita pendek pertama di buku Pada Suatu Hari Nanti. Jangankan membuka wawasan, twist yang diberikan di kisah Rama dan Shinta tidak mengejutkan sama sekali. Bagi saya, twistnya pun tidak pula memberi penafsiran baru akan kisah tersebut. Lalu kekecewaan saya terus bertambah setelah selesai membaca buku tersebut. Tidak ada hal baru yang didapat dari adaptasi dan twist yang dibuat Sapardi Djoko Damono. Bahkan jika dilihat dari segi keindahan penggunaan bahasa, cerpen-cerpen ini berada di kelas yang berbeda dengan puisi beliau. sigh

Cerpen-cerpen di bagian berikutnya, Malam Wabah, juga tidak sukses untuk memberi warna baru/pandangan baru dengan memakai benda mati atau tokoh yang tidak umum sebagai narator. Bagi saya kumpulan cerpen ini bagaikan kumpulan latihan menulis cerpen dari pak Sapardi Djoko Damono

Buku The House of Mirth yang sempat terlantar selama beberapa bulan, dibuka lagi. Kembali dibaca dari awal dan dengan kecepatan yang lebih pelan dari sebelumnya. Tampaknya memang buku Edith Wharton itu bukan tipe buku yang bisa dibaca cepat, baru terasa bagusnya pas dibaca perlahan. Pada bab satu buku ini, Lily bertemu dengan Selden dan dari pembicaraan mereka ada beberapa hal menarik mengenai perempuan. Yang pertama:

 

Everything about her was once vigorous and exquisite, at once strong and fine. He had a confused sense that she must have cost a great deal to make, that a great many dull and ugly people must, in some mysterious way, have been sacrificed to produce her.

 

Modern slavery!

 

Lalu mengenai penampilan:

 

“Ah, there’s the difference–a girl must, a man may if he chooses.” She surveyed him critically. “Your coat’s a little shabby–but who cares? It doesn’t keep people from asking you to dine. If I were shabby no one would have me: a woman is asked out as much for her clothes as for herself. The clothes are the background, the frame, if you like: they don’t make success, but they are a part of it. Who wants a dingy woman? We are expected to be pretty and well-dressed till we drop–and if we can’t keep it up alone, we have to go into partnership.”

 

Sudah lebih dari 100 tahun, tetap saja standard ganda untuk penampilan “layak” masih ada terus. Standard yang tidak adil, apalagi seringkali masyarakat mendasarkan penilaian pertama berdasarkan penampilan. Bagi perempuan hal ini yang menyebabkan terpaksa menghabiskan lebih banyak waktu dan uang. Argh :(

Selesai membaca On Killing.  Buku yang punya topik yang menarik tapi sayangnya tidak ditulis dengan baik. Jika buku ini dikelompokkan sebagai buku populer sains, buku ini punya banyak kekurangan. Yang langsung terlihat adalah seringnya pengulangan (bahkan ada paragraf yang diulang verbatim di bab yang lain).  Kekurangan yang fatal adalah penyampaian argumen yang tidak didukung oleh hasil penelitian yang valid (penelitian yang melewati peer review). Pembaca juga tidak diberi konteks data statistik  ketika penulis menafsirkan data tersebut. Sebagai pembaca saya merasa saya disuruh menelan mentah-mentah kesimpulan yang diambil oleh Grossman. Sayang sekali, padahal topiknya menarik. Tidak saya anjurkan untuk dibaca.

Masih melanjutkan On Killing: The Psychological Cost of Learning to Kill in War and Society (Dave Grossman).Minggu ini bagian kedua dan ketiga dari buku tersebut selesai dibaca. Oh, hal menarik mengenai bahasa Indonesia, dalam bahasa Indonesia, killing dan murdering sama-sama diartikan dalam satu kata: membunuh, padahal dua kata tersebut mempunyai makna yang berbeda. Di bagian ketiga ini yang dibahas adalah hubungan antara trauma dengan jarak fisikal ketika seseorang membunuh seseorang baik dengan berbagai motif (baik sengaja, tidak sengaja, atau bahkan terpaksa). Ternyata semakin jauh jarak seorang serdadu dengan korbannya, semakin sedikit traumanya. Tidak heran serdadu yang mengirim misile ke kota musuh dapat makan siang dengan tenang, sementara temannya yang ada di medan tempur dan baru saja menembak serdadu lawan mungkin sedang muntah-muntah sepanjang hari. Tidak heran juga, semakin dekat jarak, semakin enggan seseorang untuk membunuh orang lain. Ternyata  jika sampai bertatap mata, kemungkinan untuk saling membunuh semakin mengecil, jikalau tetap terjadi biasanya rasa bersalah menjadi begitu besar walaupun dalam kasus terpaksa membunuh.

 

Bagian berikut dalam buku ini adalah bagian yang membuat saya tertarik membaca buku ini, yaitu bagian yang akan membahas bagaimana pedidikan di militer berusaha membuat naluri tidak mau membunuh pada para serdadu ini menghilang atau paling tidak berkurang.